Janji Pagi


Mawar Hitam

Hening.

Ah—tidak, yang mungkin terdengar hanya suara tetesan air hujan yang enggan berhenti menghujam bumi. Di salah satu tempat di bumi ini, sebuah acara berlangsung mati. Dengan hujan yang tak mau berhenti, dengan petir yang tak henti-hentinya menggelegar, dengan baju hitam yang membuat suasana semakin kelam, dengan wajah-wajah yang berdiri tegap tanpa berekspresi; acara ini terasa mati. Hujan mulai bertambah deras, sang penggali tanah menengok ke kiri dan kanan; meminta tanda, kemudian anggukan dari lelaki bertubuh gendut yang berada di sebelahnya sudah memberi jawaban; semuanya harus selesai hari ini. Saat tanah mulai digali, tangisan mulai terdengar di sela hujan yang sepertinya akan berubah menjadi badai. Sementara yang lain sibuk menangis dan menahan tangis, beberapa yang lain terpaku pada tanah yang tengah digali—sambil berharap dalam hati kalau ini semua hanyalah mimpi. Tak sampai 10 menit, sebuah lubang sudah siap diisi. Semuanya hampir selesai. Namun, tidak ada kesedihan yang beranjak pergi. Bahkan dengan melihat lubang itu saja bisa membuat hati orang-orang ini teriris. Tepat pada sore hari ini, saat hujan tengah membasahi bumi; ada sesuatu yang diakhiri. Dan tepat pada sore hari ini, saat kesedihan tengah menggantung di pojok pemakaman ini; ada sesuatu yang dimulai.

Hening.

Ya, seandainya hujan tidak bertambah deras, maka jeritan orang-orang berbaju hitam itu akan terdengar. Orang-orang di sini hanya mempunyai tugas untuk 'mengantar'. Mereka yang berdiri di sini bukanlah orang-orang lemah. Namun, terkadang sisi manusia mereka—mungkin juga semua orang—akan bereaksi saat kesedihan menghantam. Lihatlah, orang-orang kebanggaan negeri sakura itu tengah berduka. Beberapa menangis histeris, beberapa menahan tangis dengan kabut yang mulai berseliweran di matanya, dan beberapa lagi hanya terdiam sambil menatap lirih peti yang tengah dimasukkan perlahan ke dalam lubang istirahat yang abadi. Hujan semakin menggila; membuat payung yang dibawa beterbangan, membuat baju yang dipakai sukses basah kuyup, membuat hati para ksatria lapangan ini terluka. Bagaimana tidak? Bersamaan dengan datangnya badai, mereka—secara langsung—menyaksikan teman mereka menjemput akhir hidupnya. Mereka—dengan mata kepala sendiri—melihat tubuh temannya kaku dan kini harus dimasukkan ke sebuah lubang gelap.

Perlahan, peti kayu itu dimasukkan ke dalam lubang.

Perlahan, peti kayu itu ditimbun oleh tanah.

Perlahan, peti kayu itu menghilang dari jangkauan mata.

Dan perlahan ...

Lelaki bertubuh gendut itu kini sudah sukses berlutut di hadapan makam temannya. Ia tak kuasa melihatnya semua ini. Sungguh, ia tak sanggup. Air matanya sudah mengering, yang tersisa hanyalah jeritan tertahan dan luka yang mendalam. Sementara itu, lelaki berambut mohawk yang berdiri di sebelahnya hanya bisa menyentuh pundak sahabatnya itu.

"Kurita." lelaki itu kini mencengkram pundak sahabatnya dengan kuat; hendak mengingatkan kalau badai akan segera menghantam pemakaman ini. Namun, bagi Kurita—lelaki gendut itu, urusan ini tidak akan berakhir saat ia meninggalkan pemakaman ini. Bahkan, boleh jadi urusan itu bertambah pelik. Sekarang, satu persatu pelayat meninggalkan area pemakaman. Pojok pemakaman yang asalnya dipenuhi oleh orang-orang berbaju hitam kini terlihat sepi. Menyisakan 3 orang; Kurita, lelaki berambut mohawk dan lelaki yang bertubuh pendek. Bagi semua orang, kepergian Hiruma—lelaki yang jasadnya kini ada di dalam peti itu—mungkin menyakitkan. Namun, bagi mereka bertiga, urusan ini tidak berhubungan dengan sakit atau tidak. Perih atau tidak. Ataupun sedih atau tidak. Namun ada atau tidaknya Hiruma—lelaki yang kini terbujur kaku di dalam peti itu.

Hening.

Langit berhenti menangis. Awan kusam yang sedari tadi mengungkung langit kini entah bergerak ke mana. Warna jingga kemerah-merahan mulai menghiasi langit. Senja telah tiba. Namun, kesedihan tidak menghilang dari pojok pemakaman itu, tidak menghilang dari hati orang-orang yang berdiri di situ. Dan mungkin akan bertambah jika orang itu mengetahui kabar ini. Hari ini, saat langit berhenti menangisi kepergian sang komandan dari neraka; ada sesuatu yang diakhiri, adapula sesuatu yang akan dimulai.

0 Response to "Janji Pagi"

Posting Komentar